Ilustrasi, Sumber: http://www.nu.or.id/onefiles/nu_or_id/dinamic/mid/1437061889.jpg |
Ibrahim bin Adham suatu ketika sedang berjalan di tepi pantai. Tanpa
sengaja, matanya melirik sepasang manusia berduaan dengan begitu
mesranya. Terlintas di benak sufi ini bahwa sepasang kekasih itu sedang
dimabuk cinta. Bukan hanya mabuk cinta, ternyata mereka juga sedang
mabuk dalam arti yang sesungguhnya. Terlihat di sekeliling mereka
beberapa botol minuman berseliweran, terdapat bekas botol yang baru saja
selesai dikosongkan isinya. Beberapa saat, Ibrahim bin Adham terkesima
dengan pemandangan yang dia lihat sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia
berpikir betapa musykilnya sepasang manusia ini, bermaksiat sedemikian
mudahnya, seakan tak ada dosanya.
Tiba-tiba dalam jarak beberapa meter di depan mereka, gelombang laut mengganas menerjang pinggiran pantai. Menghanyutkan sesiapa yang berdekatan, tak pandang bulu. Beberapa orang berusaha berdiri, berenang, dan berlari menjauh ke arah daratan. Sebagian mereka bisa melepaskan diri dari terjangan ombak. Namun nahas, lima lelaki tak kuasa diseret gelombang. Seketika, lelaki mabuk yang sedang bermesraan di pinggir pantai itu berlarian menuju ke arah lima orang yang hanyut. Ia berusaha menarik satu-persatu lelaki yang hampir terbawa arus. Ibrahim bin Adham yang melihat kejadian itu hanya bisa tercengang, berdiri mematung di tempatnya. Antara tercengang dengan kejadian yang terjadi begitu cepat di depan matanya dan juga tidak bisa berenang.
Sementara si lelaki ini begitu cekatan
berlari dan berenang. Tak membutuhkan waktu lama, si pemuda mabuk tadi
berhasil menyelamatkan empat orang. Kemudian ia kembali. Namun bukannya
kembali ke perempuan yang tadi sempat ditinggalkan sejenak, lelaki ini
justru menuju ke arah Ibrahim bin Adham. Belum terjawab kebingungan
Ibrahim bin Adham, tiba-tiba saja, ia mengucapkan beberapa kalimat,
padahal Ibrahim bin Adham tidak bertanya sepatah katapun.
“Tadi
itu aku hanya bisa menyelamatkan empat nyawa, sementara kau seharusnya
menyelamatkan sisa satu nyawa yang tidak bisa aku selamatkan.”
Belum
selesai kebingungan Ibrahim bin Adham, lelaki ini melanjutkan,
“Perempuan yang di sebelahku itu adalah ibuku. Dan minuman yang kami
minum hanyalah air biasa.” Ia memberikan alasan. Seolah ia mampu membaca
semua apa yang dipikirkan oleh Ibrahim bin Adham.
Kejadian
sederhana itu mampu menyadarkan sang ulama terkenal, Ibrahim bin Adham.
Seketika itu hati beliau dipenuhi sesal dan taubat. Lelaki yang sempat
dianggap ahli maksiat ternyata jauh lebih baik dibandingkan beliau yang
terkenal ahli ibadah. Kejadian itu begitu membekas dalam hidup Ibrahim
bin Adham hingga wafatnya. Jika seorang Ibrahim sang Sufi saja bisa
terjebak dalam perangkap itu, bagaimana dengan kita manusia akhir zaman?
Betapa
seringnya kita berada di posisi menjustifikasi manusia. Atas sedikit
fakta yang kita tahu tentang cuplikan kehidupannya, kita menuduhnya
dengan stigma yang sangat tak pantas. Tatkala seorang teman yang tak
menyapa ketika berpapasan dengannya sekali waktu, seketika kita beropini
bahwa ia sombong. Padahal di balik itu, ia sedang dirundung masalah
besar, bersedih, atau juga tak melihat kita. Di saat seorang teman tak
memberi kita pinjaman uang, seketika kita menduga bahwa ia pelit.
Padahal di balik itu ia sedang berusaha mendapatkan banyak uang untuk
kebutuhan ibunya atau untuk membayar utang-utangnya. Di saat seorang
karib tak memenuhi undangan kita, terlintas di benak jika ia seorang
yang tak menghargai. Padahal di balik itu, dia mendapatkan sebuah
tanggungan yang harus segera diselesaikan hari itu juga sementara ia
sungkan untuk memohon izin dikarenakan penghormatannya.
Penyebab
retaknya ukhwah dengan sesama salah satunya disebabkan urusan salah
persepsi. Lalu melahirkan saling mencurigai dan saling bersu’udzon. Tak
sengaja ketika kita menganggap seseorang berdasarkan persepsi kita maka
yang terjadi adalah rasa kekecewaan terhadap semua orang. Sementara
tanpa disadari hal ini juga membangkitkan rasa ego sedikit demi sedikit
menjadi pribadi yang superior, tanpa cela, dan antikritik. Sampai
akhirnya menganggap diri sendiri adalah segalanya. Sang manusia sempurna
dan pemilik kebenaran seorang diri, atau kelompoknya semata. Betapa
berbahayanya.
Jauh-jauh hari Nabi SAW mengingatkan,
"Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena
prasangka buruk adalah seduta-dustanya ucapan. Janganlah kalian saling
mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling
mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian
hamba-hamba Allah yang bersaudara" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadits
no. 6064 dan Muslim hadits no. 2563]. Pesan Nabi tidak sekadar nasihat
biasa. Beliau mewanti-wanti supaya umatnya selalu menjaga diri. Betapa
gelisahnya Nabi jika mengetahui ada diantara umatnya yang saling
merendahkan sesama.
Berburuk sangka termasuk laku yang salah,
pemantik dosa. Ketika seseorang berburuk sangka dan sangkaannya itu
benar, maka sama sekali ia tak akan mendapat pahala apapun. Sementara
jika ia berburuk sangka dan sangkaannya itu salah, maka pasti atasnya
perbuatan dosa. Betapa tak bermanfaatnya berburuk sangka,
menstigmaisasi, dan menghakimi seseorang dari apa yang sedikit
pengetahuan kita tentang dia.
Bertemu dengan semua orang
seharusnya menjadi cermin untuk diri kita untuk lebih baik lagi. Hal ini
diawali dengan rasa saling percaya dan berbaik sangka. Ketika bertemu
anak kecil, pikirkan bahwa bisa jadi ia jauh lebih baik dari kita,
karena di umurnya yang sedikit, ia masih sedikit dosa dan salah. Ketika
bertemu dengan orang tua, pikirkan bahwa ia jauh lebih baik dari kita,
karena umurnya yang sudah sepuh, berarti ibadahnya pun jauh lebih banyak
dibanding kita. Bertemu orang gila sekalipun ada kesempatan bagi kita
berpikir positif, bisa jadi ia lebih baik dan lebih dulu masuk surga
dibanding kita. Sebab, orang gila itu tidak dibebani syariat oleh Tuhan
yang Maha Adil, sehingga ia tanpa cela. Terlebih ketika bertemu dengan
manusia yang cacat fisiknya. Orang buta, tuli, bisu, bisa jadi mereka
jauh lebih baik dari kita. Mereka tak pernah menggunakan inderanya untuk
meliha, mendengar, dan mengucap dosa. Bukankah mereka lebih selamat di
dunia dan akhirat? Lalu masihkah ada kesempatan kita merasa jauh lebih
baik, lalu terbersit angkuh dan sombong, dan kemudian merendahkan
manusia lainnya, bahkan kemudian menganggap bahwa pemilik kebenaran
sempurna adalah sosok diri sendiri seorang? Wajarkah?
Wallahu a’lam bishawab.
Muhammad Ridha Basri, Santri-mahasiswa Lingkar Studi al-Quran (LSQ) Ar-Rahmah, Yogyakarta.