Siifah 1

Mengenal Islam secara Kaffah

Kuantum

Kehidupan Muslim Britania Raya

Safari LDJ

Fosif (LDJ Fisika) dan Forsis (LDJ Statistika)

Kewajiban Menuntut Ilmu dan Sifat Malas

   Ketika kita melihat ilustrasi poster di atas, kita pasti berpikir memang sudah sepantasnya kita harus menuntut ilmu setinggi langit. Bahkan pada poster tersebut tercantum ayat Al-Qur'an yang berbunyi,
"Allah akan meninggikan beberapa orang-orang yang beriman disekitarmu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat"
(Q.S. al-Mujadallah:11)
  Disitulah kelebihan orang yang beriman dan berilmu dibandingkan dengan orang yang beriman saja. Disitu, pada ayat itu dengan jelas menyatakan bahwa Allah SWT meninggikan beberapa derajat orang yang beriman dan berilmu dibandingkan orang yang hanya beriman saja. Sebab ketika kita hanya beriman saja, kita tidak akan mengetahui sebab apa kita harus beriman dan mengapa kita harus beriman. Dengan kita memiliki ilmu, maka wawasan kita akan terbuka dan bila kita imbangi dengan keimanan kita kepada Allah SWT, maka kita akan menyadari betapa besarnya nikmat yang telah Allah SWT berikan kepada kita. Betapa besarnya kuasa Allah SWT terhadap alam semesta ini. Maka kita juga akan menyadari betapa kecilnya kita di mata Allah SWT. Namun ketika kita berilmu tetapi tidak diimbangi dengan keimanan kita kepada Allah SWT, kita akan cenderung mempergunakan ilmu tersebut tidak pada kaidahnya, bahkan bisa saja kita juga melawan kodrat yang diberikan Allah SWT kepada kita dengan ilmu pengetahuan yang kita miliki tadi.
   Terlepas dari itu semua, permasalahan kita dalam menuntut ilmu sebenarnya hanya ada satu, yaitu malas. Ketika kita malas untuk menuntut ilmu, maka kita akan merasa lebih pintar daripada yang lain, namun kenyataannya tidak demikian. Penyebabnya adalah kita kurang belajar bahkan malas untuk belajar sehingga kita merasa kemampuan kita sudah melebihi orang-orang disekitar kita. Jadi walaupun kita punya pemikiran bahwa kita harus menuntut ilmu setinggi langit tetapi kita sendiri tidak menerapkannya karena kita sendiri yang ogah-ogahan ketika disuruh menuntut ilmu, lalu buat apa kita punya pemikiran seperti itu? Buat apa kita memiliki pemikiran tadi tetapi tidak diterapkan pada kehidupan kita sehari-hari? 
   Semoga ini menjadi bahan renungan kita bersama terutama bagi kita yang sedang berada di bangku sekolah maupun bangku kuliah termasuk saya sendiri. Semoga kita juga termasuk orang yang ditinggikan derajatnya di mata Allah SWT karena beriman dan berilmu. Karena bahwasannya kita menuntut ilmu ini tidak ada batasan waktu. Walaupun sampai usia senjapun kita juga harus tetap menuntut ilmu. Waktu menuntut ilmu kita berakhir ketika ruh kita telah dicabut dari raga kita untuk kembali kepada Allah SWT.

Luqman Aji Kusumo
Ketua Divisi Media Departemen Syiar Fosif ITS

Ketika Pengarang Alfiyah Dihinggapi Rasa Ujub

Ilustrasi. Sumber: http://nu.or.id/onefiles/nu_or_id/dinamic/mid/1446639177.jpg
Siapa tak kenal kitab Alfiyah? Seolah memancarkan berkah tak kunjung habis, nahdham seribu bait yang mengulas ilmu nahwu ini dipelajari terus di berbagai majelis ilmu hingga kini.
Pengarangnya, Al-‘Allâmah Abû ‘Abdillâh Muhammad Jamâluddîn ibn Mâlik at-Thâî atau tersohor dengan sebutan Ibnu Malik, merupakan pakar gramatika Arab ternama dari Andalusia (Spanyol). Alfiyah yang merupakan ringkasan karya sebelumnya, al-Kafiyah asy-Syafiyah, pun dipuji banyak cendekiawan, dan melahirkan berjilid-jilid kitab syarah dan karya komentar yang sudah tak terbilang.
Namun demikian, ada cerita menarik di sela proses penulisan muqaddimah nadham luar biasa yang masih dilantunkan di berbagai pesantren dan madrasah ini.
………………
وَأسْتَـعِيْنُ اللهَ فِيْ ألْفِــيَّهْ ¤ مَقَاصِدُ الْنَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ
(Dan aku memohon kepada Allah untuk kitab Alfiyah, yang dengannya dapat mencakup seluruh materi Ilmu Nahwu)
تُقَرِّبُ الأَقْصَى بِلَفْظٍ مُوْجَزِ ¤ وَتَبْسُـطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ
(Mendekatkan pengertian yang jauh dengan lafadz yang ringkas serta dapat memberi penjelasan rinci dengan waktu yang singkat)
وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ ¤ فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي
(Kitab ini menuntut kerelaan tanpa kemarahan, melebihi kitab Alfiyah-nya Ibnu Mu’thi)
Sampai di sini Ibnu Malik hendak menjelaskan kepada pembaca bahwa kitabnya lebih unggul dan komprehensif dari kitab karya ulama sebelumnya, yakni Yahya ibn Abdil Mu’thî ibn Abdin Nur Az-Zawâwi al-Maghribi atau Ibnu Mu'thi. Dalam kitab Hasyiyah al-'Allâmah Ibnu Hamdûn 'ala Syarhil Makûdî li Alfiyati ibn Mâlik dikisahkan, setelah itu Ibnu Malik meneruskannya dengan bait:
فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ ¤ ................ 
(Mengunggulinya [karya Ibnu Mu’thi] dengan seribu bait,…....)
Belum sempurna bait ini dibuat, tiba-tiba saja Imam Ibnu Malik terhenti. Inspirasinya lenyap, tak mampu menulis apa yang hendak dilanjutkan. Suasana pikiran kosong semacam ini bahkan berlangsung sampai beberapa hari. Hingga kemudian ia bertemu seseorang dalam mimpi.
“Aku mendengar kau sedang mengarang Alfiyah tentang ilmu nahwu?”
“Betul,” sahut Ibnu Malik.
“Sampai di mana?”
Fâiqatan lahâ bi alfi baitin…”
“Apa yang membuatmu berhenti menuntaskan bait ini?”
“Aku lesu tak berdaya selama beberapa hari,” jawabnya lagi.
“Kau ingin menuntaskannya?”
“Ya.”
Lalu orang dalam mimpi itu menyambung bait فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ yang terpotong dengan وَ اْلحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيِّتٍ (Orang hidup memang terkadang bisa menaklukkan seribu orang mati). Terang saja, orang hidup meski cuma seorang dijamin sanggup mengalahkan berapa pun banyaknya orang yang tak punya kuasa pembelaan lantaran sudah mati.
Kalimat ini merupakan sindiran kepada Ibnu Malik atas rasa bangganya (‘ujub) terhadap kitab Alfiyah yang dianggap lebih bagus dari pengarang sebelumnya yang sudah wafat. Sebuah tamparan keras menghantam perasaan sang pengarang Alfiyah
Segera Ibnu Malik mengonfirmasi, “Apakah kau Ibnu Mu’thi?”
“Betul.”
Ibnu Malik insaf dan malu luar biasa. Pagi harinya seketika ia membuang potongan bait yang belum tuntas itu dan menggantinya dengan dua bait muqaddimah yang lebih sempurna:
وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ
(Beliau [Ibnu Mu’thi] lebih istimewa karena lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah)
وَاللَّهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ
(Semoga Allah melimpahkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat)
Kisah di atas mengungkap pesan bahwa tak ada seorang pun yang bisa beranggapan keilmuannya secara mutlak lebih unggul dari ulama sebelumnya. Uraian Ibnu Malik dalam Alfiyah-nya mungkin lebih lengkap dan detail dari karya Ibnu Mu’thi, tapi karya pendahulu tetap lebih penting karena memberi dasar-dasar rintisan bagi karangan ulama berikutnya. Dalam sebuah hadits disebutkan: âbâukum khairun min abnâikum ilâ yaumil qiyâmah (para pendahulu [pelopor] lebih baik dari generasi penerus hingga hari kiamat).
Cerita tersebut juga mengingatkan kita tentang pentingnya tetap dalam ketawadukan. Capaian puncak prestasi tertentu, sehebat apapun, menjadi rendah ketika disikapi dengan kecongkakan. Ibnu Malik sempat sedikit tergelincir ke arah itu, lantas segera berbenah. Alhasil, karyanya terus mengalirkan pengetahuan dan berkah, bak mata air yang tak kunjung padam hingga sekarang. 
(Mahbib Khoiron)

Definisi, Sejarah Ringkas, dan Perbandingan Agama-Agama


Ilustrasi, Sumber Gambar: https://randaka.files.wordpress.com/2012/03/agama-dunia.jpg
Agama adalah salah satu hal yang sudah hadir sejak sangat lama, barangkali nyaris setua peradaban manusia sendiri. Agama tumbuh dan berkembang dengan pesat selama beberapa ribu tahun terakhir, dan berlawanan dengan prediksi beberapa pengamat sekular yang cenderung membenci atau setidaknya mengkritik konsep tentang agama, penulis pribadi percaya agama akan tetap eksis sampai akhir peradaban umat manusia kendati benar bahwa pada abad ini pengaruh sebagian agama merosot antara lain akibat kemajuan sains. Penulis percaya bahwa kemajuan sains tidak akan lantas menghapus keberadaan agama sepenuhnya. Agama adalah salah satu hal mendasar yang mendidik manusia menjadi lebih baik, mendahului kehadiran Codex Hammurabi atau mulainya kemunculan konsep hukum negara manapun. Terlepas dari semua kritik yang dilontarkan oleh para sosiolog sekular, agama telah menjaga umat manusia sehingga bisa tetap eksis sampai sekarang.

Mencapai Kaffah Lewat SI IFFAH1

Drs. Soehardjoepri, M.Si Saat memaparkan Materi Saat Sesi Materi Acara SIIFAH1

Fosif kembali sukses melaksanakan Studi Intensif Islam Kaffah 1 (SI IFFAH1). Bertempat di Theater B, acara dibuka pada hari Sabtu (31/10) dan berlangsung selama dua hari. Agenda tersebut merupakan proses kaderisasi tahap pertama dari Fosif bagi mahasiswa muslim Fisika ITS 2015. SI IFFAH1 kali ini mengusung tema “Cahaya Menuju Muslim Fisika yang Kaffah”, dengan harapan dapat memunculkan kader yang mampu mengintegrasikan ilmu fisika dan islam.