Definisi, Sejarah Ringkas, dan Perbandingan Agama-Agama


Ilustrasi, Sumber Gambar: https://randaka.files.wordpress.com/2012/03/agama-dunia.jpg
Agama adalah salah satu hal yang sudah hadir sejak sangat lama, barangkali nyaris setua peradaban manusia sendiri. Agama tumbuh dan berkembang dengan pesat selama beberapa ribu tahun terakhir, dan berlawanan dengan prediksi beberapa pengamat sekular yang cenderung membenci atau setidaknya mengkritik konsep tentang agama, penulis pribadi percaya agama akan tetap eksis sampai akhir peradaban umat manusia kendati benar bahwa pada abad ini pengaruh sebagian agama merosot antara lain akibat kemajuan sains. Penulis percaya bahwa kemajuan sains tidak akan lantas menghapus keberadaan agama sepenuhnya. Agama adalah salah satu hal mendasar yang mendidik manusia menjadi lebih baik, mendahului kehadiran Codex Hammurabi atau mulainya kemunculan konsep hukum negara manapun. Terlepas dari semua kritik yang dilontarkan oleh para sosiolog sekular, agama telah menjaga umat manusia sehingga bisa tetap eksis sampai sekarang.
    Ada beberapa hal yang menarik mengenai diskusi tentang agama: pertama, apakah persamaan dan perbedaan masing-masing agama? Lantas bagaimanakah tanggapan soal kritik mengenai kehadiran agama di muka bumi? Apakah sains dan agama tidak dapat dipersatukan? Yang terakhir, apakah perbedaan penting dari agama Islam di atas agama-agama lain? Satu demi satu jawaban pertanyaan ini akan dibahas pada tiap bagian dalam artikel ini.
Prasyarat pertama agar suatu ideologi dapat digolongkan sebagai agama adalah ABC: Assure, Believe, Convert. Assure, yaitu agama menjamin keselamatan dari para pengikutnya (baik di dunia ini maupun dunia setelah kematian). Believe, yaitu agama mengimani suatu kumpulan sistem kepercayaan dan keberadaan entitas yang memiliki kekuatan jauh melebihi manusia. Convert, agama mengubah kepercayaan mereka yang awalnya berada di luar sistem.
Sedangkan definisi-definisi agama oleh para pakar antara lain sebagai berikut. Emile Durkheim mengatakan ‘agama adalah sistem terpadu mengenai kepercayaan (faith) dan praktik terkait, yang menyatukan para penganutnya dalam ikatan tertentu’. Jappy Pellokild mengatakan ‘agama adalah sistem kepercayaan dan praktik suatu kelompok dalam menghadapai masalah paling terkahir dalam hidup’. Keduanya adalah definisi yang bagi beberapa kalangan dikatakan cukup baik, namun sayang agama tidak hanya selalu terpaku pada aspek religius dan supranatural (keberadaan dengan kekuatan tak terbatas/ jauh melampaui manusia), namun juga pada aspek sosial.
Dalam hal ini definisi Joachim Wach lebih luas; beliau mengatakan terdapat tiga aspek agama yaitu aspek teoritis, praktis, dan sosiologis. Aspek teoritis menunjukkan sistem kepercayaan, aspek praktis pada kaidah atau hukum-hukum yang mengikat penganutnya, dan aspek sosiologis pada peraturan tentang hubungan dan aspek sosial. Jika tidak memenuhi tiga aspek ini, seseorang/ suatu kelompok hanya dianggap punya kecenderungan religius namun tidak memiliki aspek agama. Elisabeth Nothingham kemudian menyimpulkan bahwa banyak faham, sistem, dan konsep yang populer ini termasuk agama: komunisme, sekularisme, demokrasi, ataupun nasionalisme. Namun Nothingham menjelaskan lebih lanjut bahwa jika dimasukkan kategori agama, konsep-konsep ini termasuk ‘agama sekular’, bukan ‘agama wahyu’. 
Perbedaan masing-masing agama cukup sulit dijelaskan, namun secara kasar dapat dibagi menjadi konsep mengenai ketuhanan dan makhluk, maupun dalam ranah konsep spiritual atau sosial. Konsep dewa-dewi Yunani, Romawi, ataupun Asgard sebagai suatu agama, dapat dimasukkan konsep ketuhanan politeisme. Zoroastrianisme, konsep agama dan ketuhanan Iran kuno yang disebarkan Zoroaster, mengajarkan kekuatan Ahura Mazda (Tuhan Yang Bijaksana) dan Ahriman (Kekacauan) yang cenderung sebanding (meski dipercaya Ahura Mazda akan menang dalam jangka panjang), adalah konsep dualisme. Agama-agama turunan Ibrahim (Islam, Nasrani, dan Yahudi) adalah monoteisme, meskipun dari sudut pandang Islam, Kristen termasuk kategori politeisme. Sedangkan agama yang dilihat dari aspek dominannya dapat dibagi menjadi yang dominan sosial/ etika (misalnya Kristen/ Katolik), dominan spiritual (Budha, Hindu), atau yang merupakan campuran setimbang sosial dan spiritual (Islam, Jainisme).

Kritik dan Tanggapan Mengenai Eksistensi Agama
Satu-dua dari sekian pendapat dan pertanyaan tentang agama antara lain adalah tanggapan soal kritik mengenai kehadiran agama di muka bumi. Selain itu, apakah sains dan agama sungguh-sungguh tidak dapat dipersatukan?
Banyak sekali kritik mengenai keberadaan agama di muka bumi. Sebagian besar dilontarkan oleh orang yang ateis atau sekular. Kritik soal agama oleh Richard Dawkin, contohnya. Dawkin, yang merupakan salah satu pakar teori evolusi, menunjukkan jutaan nyawa yang melayang akibat peperangan yang ditimbulkan oleh agama. Agama juga dianggap eksklusif karena masing-masing mengklaim kebenaran di atas sistem kepercayaan dan agama yang lain. Dengan klaim kebenaran ini, perang yang dipicu ketegangan pengikut-pengikut antar agama terjadi.
Bagaimana tanggapan kita mengenai hal ini? Sesungguhnya jawabannya sederhana. Dawkin benar saat mengatakan bahwa banyak nyawa melayang akibat peperangan agama. Namun Dawkin tidak menyinggung mengenai abad kedua puluh, ketika komunisme-ateisme sedang berada di puncak kekuasaannya. Kegagalan ateisme, yang diperlihatkan oleh runtuhnya Rusia menunjukkan bahwa solusi ateisme dan komunisme bukanlah pengganti bijaksana dari solusi agama. Dalam kurun waktu merajalelanya ateisme, orang yang terbunuh akibat keberadaan komunisme dan ateisme abad dua puluh justru jauh lebih banyak dibanding yang terjadi akibat perang agama manapun. Beberapa orang anti-agama menekankan adanya nyawa yang melayang akibat perang agama, namun lupa menceritakan bahwa ideologi, sistem politik (seperti demokrasi, komunisme, ataupun kediktatoran), ataupun ateisme sendiri telah membunuh lebih banyak orang daripada perang agama manapun.
Abad kedua puluh pun menampilkan Perang Dunia 1 dan 2, yang sebagiannya dilatarbelakangi oleh pertempuran antara Russia dan Amerika Serikat, yang sekali lagi melibatkan ateisme. Penemuan nuklir dan senjata dahsyat lain akibat kemajuan sains yang dimanfaatkan tanpa adanya sikap bijaksana ala agama, dan pada saat yang sama ateisme mencapai puncak kekuasaan, secara bersama-sama menyebabkan dua perang paling dahsyat menurut sejarah. Bandingkan dengan ribuan tahun yang manusia lewati saat agama masih hadir dan berakar kuat, bersama-sama dengan ketiadaan senjata dahsyat temuan sains. Perang skala kecil dan menengah memang terus-menerus hadir, namun tidak ada perang skala besar yang melibatkan warga dunia, tidak ada perang yang memiliki kemungkinan menyebabkan kepunahan eksistensi manusia. Kehadiran sains modern tanpa sikap kebijaksanaan ala agama, dan lalu diperparah dengan kehadiran ateisme-komunisme terbukti justru memberikan dampak jauh lebih mengerikan dibandingkan masa-masa yang bahkan paling kelam dalam sejarah agama.
Yang menarik adalah tanggapan Dawkin mengenai penjelasan ini: bahwa komunisme ala Rusia tidak dekat dengan ateisme menurut konsepnya, namun justru lebih mendekati konsep agama. Mungkin ini karena menurutnya komunisme adalah ateisme yang digabungkan dengan konsep-konsep hukum, yang khas agama. Namun, karena seseorang yang ateis cenderung merasa bebas untuk melakukan apapun secara spitual (karena menurutnya tidak ada Tuhan yang mengawasi dan memberikan balasan atas amalnya), maka tanggapan Dawkin dapat dipertanyakan. Seorang komunis terikat kuat dengan hukum negaranya, namun secara spiritual tidak memiliki landasan kuat sehingga berbuat apapun adalah boleh menurutnya. Alih-alih berdebat soal konsep ateisme yang benar menurut Dawkin, sebaliknya yang harus kita lakukan adalah mulai menggabungkan kebijaksanaan ala agama tanpa membuang penalaran ala sains, demikian juga sebaliknya. Yang satu akan saling memperkuat yang lain.
Sesungguhnya pada masa-masa awal kemunculan sains modern, para penemu cikal bakal sains seringkali adalah orang yang religius. Contohnya Isaac Newton, orang yang paling bertanggung jawab atas perkembangan sains dan kalkulus, yang adalah seorang religius. Newton pernah mendapati gerakan benda luar angkasa tertentu tidak sepenuhnya sesuai dengan perhitungan hukum gravitasinya, dan beliau berkomentar bahwa ‘ketidak-sesuaian prediksi hukum saya dengan hasil percobaan mungkin menunjukkan bahwa gerakan benda kosmik tersebut juga dipengaruhi campur tangan keberadaan supranatural pengatur alam semesta’. Newton menganggap bahwa kehadiran kekuatan supranatural, singkatnya Tuhan, menyebabkan gerakan benda kosmik tidak sepenuhnya sesuai dengan prediksi. Walapun akhirnya diketahui bahwa ketidaksesuaian ini hanya masalah salah perhitungan dan interpretasi data yang kurang tepat, namun komentar ini dan banyak bukti lain menunjukkan bahwa ilmuwan sekaliber Newton (bahkan sains secara umum) tidak harus dilawankan dengan sikap religius. Galelio Galilei yang dihukum gereja akibat mendukung heliosentris pun seorang yang cukup taat beragama. Begitu juga penemu hukum genetika, Gregor Mendel, yang adalah seorang pendeta. Pada masa-masa ini, penggunaan alat-alat dan teknologi temuan sains masih cukup sederhana dan yang terpenting: penggunaannya bijak.
Lebih lanjut jika dirunut lebih dalam, beberapa abad sebelumnya, ketika peradaban Eropa terpuruk dalam Zaman Kelam (Dark Age), Islam dan negara-negara Timur Tengah justru berada pada puncak perkembangan sains, dan bahkan cikal bakal observatorium astronomi dibangun pada masa ini. Islam pada zaman ini berada pada masa-masa giat menerjemahkan naskah Yunani mengenai rasionalisme dan ilmu pengetahuan dan mencoba mengembangkannya. Pada masa ini pula Islam mempersembahkan satu gagasan yang membedakan sains ala Aristoteles dan sains modern: perlunya eksperimen dan penggunaan metode ilmiah. Jika rasionalisme ala Aristoteles mengungkapkan bahwa menggunakan logika (silogisme) dan nalar/ intuisi sudah cukup untuk menerangkan perilaku alam, maka sains modern ala Islam menekankan bahwa percobaan adalah penting untuk menguji gagasan yang diperoleh. Landasan ini lantas dijadikan sebagai gagasan dasar metode ilmiah sains modern yang diajukan Galelio Galilei.
Barulah kemudian seiring berjalannya waktu, mulailah bermunculan beberapa penemu sains modern yang sekular atau bahkan ateis. Charles Darwin penemu teori evolusi, Richard Dawkin sang pakar teori evolusi, ataupun Stephen Hawking yang salah satu pakar fisika modern hanyalah tiga dari sekian banyak pakar sains modern yang termasuk dalam kategori ini. Sebagaimana yang telah diterangkan, kemajuan sains yang tidak dibarengi kebijaksanaan agama dapat sangat berbahaya. Seorang jenius bisa saja memahami bidang spesialisasinya dengan hebat dan mengagumkan kita yang awam, namun tanpa kebijaksanaan, orang seperti ini mampu membahayakan umat manusia.
Pendapat Albert Einstein, fisikawan jenius nan populer abad 20, dalam hal agama dan sains cukup menarik. Meskipun penulis tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat ini, namun pendapat Einstein lebih masuk akal daripada pendapat sosiolog sekular bahwa suatu saat agama akan terhapus akibat keberadaan sains. Pendapat Einstein kurang lebih seperti ini: Suatu saat, akan hadir agama yang sempurna. Seluruh kontradiksi antara agama dan sains akan lenyap. Agama ini akan menghindari doktrin, dan seluruh paradoks antara keduanya akan didamaikan.

Perbedaan Din al Islam Dengan Agama/ Sistem Lain
Pertanyaan terkhir  yang perlu diperhatikan adalah: apa perbedaan penting Islam dengan agama lain? Hal ini dapat dirunut dengan perbandingan agama dan perkembangan sejarah agama Islam. Agama Islam (din al Islam) jika dirunut dari kata din dapat diartikan sebagai: hukum, undang-undang (Yusuf: 76), pembalasan (Al-Fatihah: 4), aturan, ganjaran, ibadah. Dengan kata lain, sistem yang lengkap dan menyeluruh. Din al Islam memang kurang tepat jika diterjemahkan sebagai agama Islam, karena nuansa kata ‘agama’ (meskipun definisi agama  sendiri agak kabur dan bervariasi) cenderung pada level spiritual, sedangkan ‘din’ lebih luas, mencakup spiritual dan sosial.
Islam menerapkan sistem menyeluruh (kaffah), yang sistemnya bahkan dapat diterapkan pada orang non-muslim seperti kebijakan jizyah. Islam bukanlah sistem yang manfaatnya terbatas bagi para penganutnya, namun bahkan bermanfaat bagi yang di luar sistem ini. Sistem din Islam secara harfiah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan: kita dianjurkan berdoa ketika hendak melakukan kegiatan apapun, baik urusan duniawi maupun ukhrawi, agar kegiatan yang kita lakukan memberikan berkah. Islam percaya mengenai keseimbangan hubungan antar manusia/ sosial (hablum min an-nas) dan hubungan dengan Allah sebagai Pencipta dan satu-satunya Tuhan yang berhak disembah (hablum min Allah).
Islam juga adalah satu-satunya sistem yang mengajukan diri sebagai sistem yang cocok dan diperuntukkan bagi seluruh golongan dan ras manusia, rahmatan lil-’alamin (Al-Anbiya: 107). Nasrani (menurut Matius 10:5-6, 15:24. Ali Imran: 49, As Shaff: 6) dan Yahudi dengan jelas menyatakan bahwa penyelamatan agama yang diajukan hanya diberikan bagi Bani Israil, Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW dalam al-Qur’an senantiasa dikatakan ‘...dan kami utus Nabi ini untuk golongan itu’. Perilaku ini barangkali bukanlah diskriminasi, namun agama pada masa sebelum Islam memang diperuntukkan bagi kaum tertentu dan bukan agama menyeluruh. Baru ketika zaman Islam, saat komunikasi antar golongan manusia mulai semakin intens dan dunia seakan menyempit, saat seakan-akan manusia kembali menjadi satu golongan lagi, Islam hadir untuk mempersatukan setiap golongan ini dalam satu lingkupan dinul Islam.
Bahkan sains dan daya pikir manusia diperhatikan dalam Islam. Perintah untuk berpikir termaktub dalam banyak tempat di Al-Qur’an. Sebanyak 49 kali kata ‘aql muncul dalam al-Qur’an. Secara umum memang tidak ada agama yang melarang keberadaan sains, (meskipun diakui ada beberapa teks religius yang secara harfiah seakan bertentangan dengan penemuan ilmiah) namun sebaliknya secara khusus Islam menganjurkan manusia untuk berpikir dan berintropeksi dalam kerangka sains. Akal memang berada di level bawah iman dan perintah, sebagaimana sejarah berulangkali membuktikan bahwa kebijaksanaan agama melampaui dan mendahului penalaran manusia (seperti hikmah zakat, puasa, larangan riba dan judi, dsb). Namun, ini tidak lantas menyebabkan sains dan pemikiran dapat dikesampingkan.
Setelah Al-Qur’an dan Hadits, Islam menekankan bahwa ijtihad adalah salah satu sumber hukum Islam. Ijtihad dilakukan dengan mengumpulkan kesepakatan pemikiran-pemikiran ahli hukum Islam untuk memperluas hukum Islam (dari Al-Qur’an dan Sunnah) yang bersifat khusus menjadi bersifat umum. Pemikiran manusia baik dalam urusan spiritual, sosial maupun sains begitu dihargai dalam Islam, namun pemikiran manusia tetap harus tunduk pada kedua landasan hukum Islam yang paling tinggi. Akal dan nafsu yang ditundukkan oleh wahyu, adalah satu-satunya jalan terbaik untuk melangkah maju dalam peradaban manusia.

Luthfi Nashiruddin
Ketua Divisi Tablighul Islam Departemen Syiar Fosif ITS